Saturday, October 30, 2010

[d'STORY] Indah pada Waktunya

Pernikahan kami sudah berjalan 2 (dua) tahun walaupun sudah dalam hitungan tahun kami hanya sempat bertemu 4(empat) kali *tragis*. Kami pun sudah dikarunia 1 (satu) orang putri bernama Talitha yang sekarang berusia 1 (satu ) tahun. Aku bekerja di Kota B, suami bekerja di kota C dan Talitha tinggal bersama neneknya di kota A, sungguh keluarga yang aneh bukan ??

Disini aku hanya ingin berbagi kisah hidup dan jeritan hati seorang anak, istri sekaligus ibu. Tidak begitu banyak orang yang tahu bahkan teman sekalipun tentang betapa pedihnya hatiku selama ini kecuali suami dan seorang sahabat yang selalu dengan sabarnya mendengarkanku berkeluh kesah.

Dua tahun yang lalu kami menikah dengan sebuah pesta yang cukup mewah *bagiku* walaupun mungkin untuk sebagian orang biasa saja. Pesta pernikahanku dilakukan di gedung lengkap dengan catering dan dekorasi. Sebenarnya aku tidak setuju dengan hal itu tapi kedua orang tuaku memaksa karena aku adalah anak perempuan pertama dan satu-satunya apalagi mengingat kondisi perekonomian keluarga kami sangat terbatas. Ayahku seorang PNS yang sedang memasuki MPP dan ibuku seorang ibu rumah tangga, kehidupan kami sangat sederhana tapi yang pasti Ayah selalu menomorsatukan pendidikan. Pada saat aku diterima UMPTN hanya satu pesan Ayah untuk serius belajar agar cepat lulus dan bekerja untuk membantu membiayai sekolah ke-lima adik-adikku.

Hari pernikahanku adalah hari yang paling bahagia walalupun aku masih sibuk bertanya-tanya darimanakah asal semua uang yang dikeluarkan. Belakangan aku baru mengetahui Ibu menggadaikan beberapa perhiasan emas dan Ayah mengambil kredit dengan menggadaikan gajinya. Oh seandainya aku tahu mungkin saat itu akan menolak dengan keras semua keputusan yang Ayah dan Ibu ambil.

Suamiku berasal dari keluarga yang cukup berada tapi semenjak Ayahnya sakit-sakitan seluruh hartanya digunakan untuk biaya berobat sampai sang AYah meninggal dunia. Sebelum menikah kami sudah saling terbuka bahwa aku mempunyai kewajiban membantu biaya sekolah kelima adik-adikku dan begitu juga suami yang telah menjadi tulang punggung Ibu dan keempat adiknya.

Betapa bahagianya kami dengan  tidak perlu menunggu lama kami dikaruniai seorang putri
dan disinilah sebenarnya cobaan hidupku semakin berat aku rasakan. Suamiku bekerja di luar pulau Jawa dengan jatah cuti 2x satu tahun yang otomatis kami hanya bertemu 6 bulan sekali. Kehidupanku setelah menikahpun tidak jauh berbeda dengan saat masih single., aku tetap bekerja dan menjadi anak kost. Saat akan melahirkan aku putuskan untuk pulang ke rumah orang tua mengingat aku hanya hidup sendirian di kota B. Perkiraan melahirkan pun menjadi lebih cepat 1 minggu sehingga saat melahirkan aku tidak sempat ditemani suami tapi tetap itu tidak mengurangi kebahagianku saat melihat putriku lahir.

Tiga bulan telah berlalu yang berarti jatah cutiku akan habis, aku hanya masih mempunyai waktu 7 (tujuh) hari lagi bersama putri kecilku. Ayahnya pun harus menahan rindu karena sudah tiga bulan tidak bertemu & menggendong Talitha. Setiap hari aku selalu mengirimkan foto-foto Talitha& rekaman suara tangisannya  pada Ayahnya sebagai pengobat rindu.
Talitha saat itu masih full ASI karena aku berpikir dengan waktu kebersamaanku yang sesingkat itu aku ingin memberikan yang terbaik untuknya. Satu minggu itu terasa begitu cepat sehingga tiba waktunya aku harus kembali ke kota B untuk bekerja. Dengan tekad yang kuat aku mengumpulkan ASIP (ASI Perahan) untuk Talitha sebagai bekal selama aku bekerja nanti. Perhitunganku saat itu Senin sd Jumat bekerja , Jumat sore pulang ke kota A dan Senin shubuh kembali bekerja dan aku yakin sanggup menjalaninya dengan tekad ingin memberikan ASIX untuk Talitha.

Banyak pertimbangan mengapa aku tidak membawa Talitha bersamaku
1. Kondisi tempat tinggalku yang hanya kamar kost tidak bagus untuk perkembangan Talitha jika aku harus mencari tempat yang lebih luas keuanganku tidak mencukupi
2.Jika aku membawanya berarti aku harus menggunakan jasa pembantu/babysitter dan lagi-lagi ini terpentok dana. Belum lagi aku tidak merasa aman memberikan Talitha kepada orang lain
Dengan pertimbangan itu dan setelah diskusi panjang lebar dengan suami akhirnya kami putuskan Talitha tinggal bersama neneknya.

Jujur saja  kondisi rumah tangga seperti ini membuat aku sedih, kami sebuah keluarga tapi berada pada waktu dan tempat yang berbeda. Iri rasanya melihat teman-temanku yang menjadi full time mommy (ibu rumah tangga) yang bisa mengasuh anaknya dengan tangannya sendiri, memasak untuk anak dan suaminya atau menyambut suami saat pulang bekerja. Perasaanku lebih pedih jika ada yang menganggap aku terlalu egois mementingkan karier daripada keluarga. Karierku di perusahaan tempat aku bekerja cukup  bagus dan cemerlang.
"Ya ampun, anak loe dititipin neneknya. Trus ngapain punya anak." (canda seorang teman)
atau "Jangan terlalu ngoyo cari uang, rezeki itu gak akan kemana ko."
"Kalau aku sih lebih memilih keluarga daripada karier" *dengan nada menyindir*
Masih banyak lagi perkataan pedas tentang keputusanku bekerja dengan menitipkan anak dan berpisah dengan suami. Seandainya mereka tau masih ada lima orang tanggunganku  dan empat orang tanggung jawab suamiku. Kondisi keuangan keluargaku diperparah dengan uang pensiun ayah yang ternyata digunakan untuk membayar hutang bekas pesta pernikahanku. Aku menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga saat itu, setiap gajian tiba aku benar-benar harus memilah mana-mana saja untuk biaya keluargaku dan biaya keluarga kecilku sendiri. Aku pun tidak menuntut banyak pada suami karena ia pun sama-sama menjadi tulang punggung di keluarganya walaupun begitu ia masih memberikan nafkah padaku walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak.
"Maaf ya dik, aku hanya bisa memberi segini. Sabar ya kalau saatnya tiba akan indah pada waktunya."
Aku selalu tidak kuat menahan air mata ini menetes setiap suamiku berkata Indah pada Waktunya. ya tapi kapan ? jerit batinku ... Berapa tlama lagi? Berapa tahun lagi aku akan hidup seperti ini.. Aku ingin seperti para ibu yang lainnya bisa mengurus anak dan suaminya setiap hari setiap jam setiap menit setiap detik. Karier ???? oh aku tidak butuh itu, jujur aku hanya butuh uang!!!!!!!!!

Dengan kondisi mentalku seperti itu membuat produksi ASIku semakin berkurang dan akhirnya aku harus merelakan Talitha meminum sufor di saat umurnya menginjak 4 (empat) bulan. Aku semakin jatuh aku semakin terpuruk, aku hanya dapat berkeluh kesah pada suami lewat telepon setiap malam padahal aku sangat butuh pelukan hangatnya untuk menenangkan atau setidaknya mengobati rasa sedihku saat itu. Aku iri dengan kehidupan salah seorang sahabatku yang mengikuti suaminya berdinas di luar kota dan menjadi ibu rumah tangga full di rumah. Aku iri jika ia bercerita bagaimana menangani anaknya yang sedang sakit, sedangkan aku tidak dapat berbuat banyak jika Talitha sedang demam saat hari kerja aku hanya bisa memantaunya lewat telepon tanpa bisa berbuat banyak. Aku hanya bisa mendengar cerita dari neneknya kalau Talitha saat itu sudah bisa tengkurap, mulai melangkahkan kakinya untuk pertama kali dll.
Terlebih sedih lagi saat Ayahnya pulang butuh waktu 3(tiga) hari agar Talitha mau digendong padahal ayahnya sudah sangat rindu sekali untuk bisa bermain, becanda atau menggendong.

Jika aku sedang 'kumat' begitu suamiku menyebutnya, saat tiba-tiba saja merasakan kesedihan yang mendalam aku hanya bisa menangis di dalam kamar kostku yang berukuran 2.5 x 3 m itu. Teman-teman di kantor dan kostan tidak pernah tahu kesedihan yang aku alami mereka hanya mengenal aku sebagai pribadi yang ceria dan humoris, sengaja aku tidak menampakkan diri saat aku sedang menangis tersedu-sedu kalaupun ada yang pernah memergoki paling aku memakai alasan sedang rindu anak dan suami.

Suamiku selalu meyakinkanku  bahwa Allah menguji aku dan suami sesuai dengan batas kemampuan kami.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh: 286)

Walaupun aku tahu seperti itu aku masih sering menangis sendirian, ya Allah maafkanlah hambamu ini.... Aku akan berusaha untuk lebih ikuat, khlas dan tegar dalam mengahadapi semuanya.

Ya.. semua akan Indah pada waktunya...........


*Ditulis berdasarkan kisah seorang sahabat yang tegar dalam mengahdapi hari-harinya*

9 comments:

  1. Duh mba sabar ya.... Sungguh setelah kesulitan ada kemudahan...

    ReplyDelete
  2. sabar ya mom... perjuangan mom pasti akan berbuah manis... tetap berharap dan berdoa yah :)

    ReplyDelete
  3. Kok aneh ya,kalo liat dr bb, gak ada tlsnnya,hanya ada judul dan kotak reply

    ReplyDelete
  4. sabar dan ikhlas ya mbak...selalu ada hikmah dibalik ujian..

    ReplyDelete
  5. Aku sebagai sahabat hanya bisa mendoakan agar kebahagian selalu menyertainya...

    ReplyDelete
  6. Aku pun sebagai sahabat tidak bisa berbuat banyak hanya bisa mensupportnya dari jauh... thanks untuk supportnya ya mba :)

    ReplyDelete
  7. oya ?? coba buka dari kompi aja mba :)

    ReplyDelete
  8. hicks.. sedih.. berasa baca kisah sendiri, kecuali kalo aku masih beruntung masih bisa bareng2 yuki, biarpun ga bisa bareng papayuki setiap saat.. dalam kasusku, yang paling sedih sih papayuki :(

    ReplyDelete
  9. sabar ya mom.. semoga cepet ngumpul berang lagi ma papayuki yaa ^_^

    ReplyDelete